JOSEIGO DAN PERGESERANNYA PADA WANITA JEPANG DI UBUD


Oleh : Kadek Eva Krishna Adnyani
dibuat pada : 2017
Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Budaya/Ilmu Linguistik

Kata Kunci :
joseigo, gender, wanita Jepang, ubud

Abstrak :
Penutur bahasa Jepang mengenal adanya danseigo (ragam bahasa pria) dan joseigo (ragam bahasa wanita). Pemakaian danseigo dan joseigo merefleksikan maskulinitas atau femininitas penguturnya. Ada kemungkinan bahwa pergeseran nilai-nilai budaya juga berdampak pada pergeseran ragam bahasa yang digunakan penuturnya. Ada perbedaan ragam bahasa wanita (joseigo) yang digunakan wanita Jepang yang lebih tua dengan wanita Jepang yang lebih muda. Oleh sebab itu, perlu diadakan penelitian terkait dengan hal tersebut yang tujuannya dapat dirumuskan, seperti: (1) mendeskripsikan penggunaan joseigo yang digunakan oleh wanita Jepang yang tinggal di Ubud, Bali pada tiga ranah, yaitu keluarga, kekariban, dan partisipasi sosial; (2) Mencari tahu keberadaan lalu menganalisis bentuk pergeseran penggunaan joseigo pada wanita Jepang di Ubud; (3) merumuskan faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan bentuk joseigo pada wanita Jepang di Ubud; dan (4) menjelaskan ideologi yang ada di balik fenomena penggunaan joseigo pada wanita Jepang di Ubud dengan pembahasan mengenai perkembangan kesetaraan gender di Jepang. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini dilakukan pada wanita Jepang yang bermukim dan bekerja di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Korpus data dalam kajian ini berupa korpus percakapan dalam bentuk percakapan spontanitas wanita Jepang dengan menggunakan bahasa Jepang, hasil wawancara, hasil kuesioner, dan hasil observasi. Subjek penelitian adalah 5 wanita Jepang yang tinggal dan berpartisipasi sosial di daerah Ubud dan memiliki usia yang bervariasi, yakni: usia 30-an, 40-an, 50-an, 60-an, dan 70-an tahun. Rekaman yang dikumpulkan kemudian diberikan kode berdasarkan lokasi penelitian serta urutan pengambilan rekaman percakapan. File rekaman yang digunakan berjumlah 40 file rekaman. Durasi file rekaman per-subjek bervariasi, namun tetap pada kisaran yang sama, yaitu 2,5 jam/subjek. Analisis data dilakukan setelah data tertulis dikumpulkan dan diklasifikasikan. Pengolahan data penelitian dilakukan dengan metode analisis komparatif konstan. Hasil analisis data disajikan menggunakan metode formal dan informal. Penelitian mengenai joseigo dan pergeserannya pada wanita Jepang di Ubud menghasilkan empat temuan; (1) terjadi netralisasi ujaran wanita Jepang, temuan (2) istilah joseigo sudah tidak sesuai untuk menggambarkan variasi gaya ujaran yang digunakan wanita Jepang masa kini, (3) Terdapat kategorisasi 2 jenis tuturan feminin yakni tuturan feminin tradisional dan tuturan feminin modern, dan (4) Pemicu pergeseran penggunaan joseigo pada wanita Jepang di Ubud adalah ideologi kesetaraan gender. Penelitian ini juga menghasilkan empat simpulan. Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ranah keluarga, penggunaan kalimat imperatif feminin lebih tinggi frekuensinya dan lebih variatif pada subjek yang berinteraksi dengan anak. Pada subjek yang berinteraksi dengan anak perempuan, pemakaian prefiks penghormatan o dan go frekuensinya paling tinggi dan paling bervariasi. Pada ranah kekariban, subjek penelitian dengan jaringan sosial longgar menggunakan joseigo dengan frekuensi yang lebih rendah dan kurang variatif dibandingkan dengan subjek penelitian dengan jaringan sosial ketat. Pada partisipasi sosial latar informal, penggunaan joseigo lebih sering dan variatif dibandingkan dengan pada partisipasi sosial latar formal. Kedua, bentuk pergeseran penggunaan joseigo oleh wanita Jepang di Ubud terlihat dalam penggunaan pronomina persona, adverbia, interjeksi, partikel akhir kalimat, honorifiks, dan kalimat imperatif secara konsisten merefleksikan suatu ide akan fitur linguistik yang dianggap dapat merepresentasikan identitas mereka. Secara garis besar, disimpulkan bahwa pergeseran bentuk ujaran yang digunakan oleh wanita bukan menjadi maskulin, namun cenderung netral dengan semakin berkurangnya variasi dan frekuensi fitur joseigo yang digunakan oleh generasi yang lebih muda (wanita Jepang modern) dibandingkan generasi yang lebih tua (wanita Jepang tradisional). Ketiga, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pergeseran penggunaan joseigo. Faktor tersebut dibagai menjadi dua kategori, yakni faktor penutur dan faktor situasi. Faktor penutur meliputi faktor usia, partisipasi sosial, dan jaringan sosial. Sedangkan faktor situasi meliputi: faktor latar, mitra tutur, dan topik pembicaraan. Keempat, Ideologi onnarashisa dan onnarashi hanashikata (cara bicara yang seperti wanita) yang awalnya mendasari tuturan wanita Jepang berubah seiring modernisasi negara yang menyebabkan munculnya ideologi kesetaraan gender (ideology of gender equality). Ideologi ini membuat formasi norma linguistik baru bagi wanita Jepang yang arahnya menuju ke tuturan netral, sesuai dengan prinsip kesetaraan gender yaitu kesamaan antara pria dan wanita. Hubungan antara femininitas dan bentuk linguistik tertentu bukanlah sesuatu yang ada secara alami melainkan sesuatu yang dibentuk dari ideologi kelas sosial dan gender. Ujaran normatif berdasarkan atas ideologi gender tidak selalu diinginkan oleh wanita. Wanita memiliki individualitas dalam menggunakan berbagai fitur linguistik (termasuk di dalamnya, ujaran yang bersifat stereotipikal feminin) untuk membentuk identitas yang mereka ingin tampilkan pada situasi sosial tertentu.

File :
Cover , Lembar Pengesahan , Daftar Isi, Abstrak, BAB I , BAB II , BAB III , BAB IV , BAB V , Daftar Pustaka , Halaman belakang lainnya