Ekosofi Tri Hita Karana dalam Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan: Analisis Ekolinguistik Kritis


Oleh : I Gede Astawa
dibuat pada : 2018
Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Budaya/Ilmu Linguistik

Kata Kunci :
ekosofi, Tri Hita Karana, awig-awig, ekolinguistik kritis

Abstrak :
Penelitian ini merujuk pada konsep the stories we live by ‘kisah-kisah hidup’ yang dikembangkan oleh Stibbe (2015) dalam kajian ekolinguistik. Melalui bahasa, manusia mendapatkan gambaran tentang suatu keadaan, peristiwa, dan fenomena-fenomena lainnya, baik yang kasat mata (skala) maupun yang tidak kasat mata (niskala). Ruang kehidupan manusia selalu memiliki cerita atau kisah-kisah penuh makna yang diungkapkan melalui bahasa. Kisah-kisah hidup tersebut dapat muncul di berbagai teks yang mengitari kehidupan manusia; salah satunya adalah awig-awig ‘hukum adat’. Pada umumnya, awig-awig yang disusun berpedoman kepada filosofi ekologis (ekosofi) yang terkait dengan lingkungan alam (palemahan), lingkungan sosial (pawongan), dan lingkungan rohani (parhyangan) yang disebut Tri Hita Karana (THK). THK didefinisikan sebagai tiga penyebab kebahagiaan (Wiana, 2007; Peters dan Wardana, 2013). Seluruh desa pakraman ‘desa adat’ di Bali diwajibkan untuk mengimplementasikan konsep THK, baik dalam pembangunan maupun dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Luaran yang diharapkan dari pelaksanaan THK ini adalah terciptanya kesejahtraan dan kebahagiaan masyarakat Bali dengan terjaganya lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan spiritual secara seimbang, dinamis, dan berkelanjutan. Pengimplementasian ekosofi THK ke dalam penyusunan awig-awig di setiap desa pakraman di Bali perlu dilakukan penelitian lebih jauh. Salah satunya adalah keberadaan “Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan” (ADATP) yang sudah ada sejak abad ke-11. Penelitian terhadap keberadaan awig-awig ini adalah bertujuan untuk (1) mendeskripsikan kosakata, gramatika, dan struktur tekstual awig-awig tersebut; (2) mengkaji representasi ekosofi THK dalam ADATP, yakni ihwal hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan yang terkandung dalam ADATP; (3) mendeskripsikan dan mengkaji interpretasi pelestarian ekologi dalam ADATP; dan (4) mendeskripsikan praktik sosiokutural ADATP. Penelitian ini didasarkan pada perspektif fenomenologis dengan menerapkan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dengan menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Data dokumentasi yang digunakan adalah ADATP dalam bentuk tertulis. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan mengombinasikan teori ekolinguistik yang dikemukakan oleh Arran Stibbe dengan analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Fairclough, yang selanjutnya disajikan dalam bentuk formal dan informal. Wawancara dilakukan untuk membantu pemahaman terhadap interpretasi ADATP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) deskripsi ADATP, baik dari tataran kosakata maupun gramatika, memiliki nilai eksperiensial, relasional, dan ekspresif. Sementara itu, dari struktur tekstual, pesan, perintah, atau amanat kepada penerima teks disampaikan dalam bentuk formal; (2) dari analisis evaluasi teks, didapatkan gambaran bahwa selain memiliki evaluasi positif, ADATP juga memiliki evaluasi negatif, dan ambivalen yang direpresentasikan melalui bentuk-bentuk lingual berupa leksikon, frasa, dan klausa/kalimat; (3) interpretasi pelestarian ekologi dalam ADATP diklasifikasikan menjadi tiga, yakni adanya pelestarian terhadap ekologi alamiah, pelestarian terhadap ekologi manusia, dan pelestarian terhadap ekologi spiritual; (4) ADATP tidak terlepas dari pertarungan kekuasaan dan ideologi. Kekuasaan pemroduksi teks sebagai representasi masyarakat Tenganan Pegringsingan diwujudkan dengan bentuk-bentuk lingual berupa larangan, ancaman, dan intimidasi. Sementara itu, ideologi dari perspektif ekolinguistik yang tersingkap dalam ADATP adalah ideologi yang bersifat preservatif terhadap lingkungan. Selain itu, ditemukan beberapa ideologi yang bersifat destruktif terhadap lingkungan, terutama pada lingkungan alam dan sosial. Dominasi kekuasaan dan ideologi dalam ADATP tidak terlepas juga dari pengaruh sistem kerajaan pada zaman itu. Raja mempunyai pengaruh besar dalam mengatur dan menentukan aturan-aturan yang dibuat oleh desa adat di bawah kekuasaannya. Hal ini memungkinkan masuknya ideologi-ideologi raja sebagai identitas kekuasaan yang dimiliki. Kata Kunci: ekosofi, Tri Hita Karana, awig-awig, ekolinguistik kritis

File :
Cover , Lembar Pengesahan , Daftar Isi, Abstrak, BAB I , BAB II , BAB III , BAB IV , BAB V , Daftar Pustaka , Halaman belakang lainnya